Refleksi Harlah ke-75 GP Ansor: Naashirun Jadi Manshuurun
Friday, 24 April 2009 13:48
Oleh: Nawawi A Manan, Penasehat PC GP Ansor Sidoarjo
Langkah Pimpinan Pusat (PP) GP Ansor dalam menyikapi pemilu legislatif 2009 cukup spektakuler. Ketika hampir semua komponen bangsa membicarakan berbagai kecurangan dan pelanggarannya, Ketua Umum PP GP Ansor Drs H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sudah menyampaikan dukungan terhadap duet Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla (SBY-JK). “SBY - JK adalah pasangan ideal,” kata Gus Ipul (Duta, 14/04/ 2009). Dengan pernyataan tersebut berarti PP GP Ansor meniadakan berbagai pelanggaran dalam pemilu.
Sebagai orang yang telah berhasil merebut jabatan dengan melakukan berbagai kecurangan, Gus Ipul layak berteriak: the show must go on! Dan, sebagai Wagub Jatim yang diusung oleh Partai Demokrat, Gus Ipul memang wajib menyampaikan dukungan kepada SBY sebagai sembah sungkemnya.
Akan tetapi, sebagai Ketua Umum PP GP Ansor, dia tidak boleh menjustifikasi kekuatan politik manapun. Dengan pernyataan tersebut berarti Gus Ipul telah menjadikan GP Ansor sebagai alat untuk melegitimasi praktik kebusukan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pernyataan sikap tersebut tampak sederhana, tetapi efek negatifnya luar biasa karena GP Ansor telah menjadi subordinasi kekuasaan.
Meskipun demikian, tidak ada pimpinan wilayah (PW), pimpinan cabang (PC), atau anggota GP Ansor yang mereaksi. Semua seolah sepakat bersikap ijma’ sukuti. Mungkin ini adalah indikasi bahwa sesungguhnya GP Ansor memang telah disalahfungsikan.
Seperti Nahdlatul Ulama (NU), sejak berakhirnya kekuasaan rezim Soeharto, GP Ansor memang telah mengalami pergeseran status karena sering digunakan sebagai kendaraan politik oleh para pengurus yang tidak betah bertahan di wilayah kultural. Banyak kader NU yang berhasil meraih jabatan politis melalui GP Ansor. Keberhasilan Gus Ipul menjadi anggota Kabinet Persatuan Nasional, kemudian Wagub Jatim, juga karena meggunakan kendaraan GP Ansor.
Para aktivis GP Ansor sangat bangga dan bersyukur terhadap berbagai perubahan serta keberhasilan tersebut. Akan tetapi, banyak anggota GP Ansor yang mencibir, bahkan apriori. Sebab, perubahan serta keberhasilan itu hanya dinikmati oleh para petinggi GP Ansor. Sehingga, fenomena yang terjadi antara di atas dan di bawah tidak sama, bahkan bertolak belakang. Kalau di tingkat atas tumbuh gairah dan soliditas karena banyak faktor perangsangnya, pada level bawah justru terjadi kristalisasi sehingga keberadaan GP Ansor kian tidak jelas. Dan, yang amat memprihatinkan, kecemburuan terhadap keberhasilan ekonomi para pertinggi GP Ansor mengakibakan banyak aktifis GP Ansor bermental yadus sufla. Mereka tidak lagi memainkan fungsi naashirun (penolong) tetapi menjadi manshuurun (minta ditolong).
Secara perlahan tapi pasti, GP Ansor kehilangan kepercayaan (trust) dari anggotanya. Faktor utama penyebabnya ialah anggota GP Ansor hanya dituntut melaksanakan kewajiban, tetapi haknya hampir tidak pernah diberikan, selain hak terhadap organisasi — seperti hak bersuara dalam rapat.
Sedangkan hak yang berhubungan dengan kepentingan pribadi anggota tidak pernah ada. Dalam PD/PRT GP Ansor memang tidak pernah disebutkan bahwa anggota harus diberi kredit lunak. Akan tetapi, secara otomatis, dalam kepemimpinan GP Ansor berlaku hukum: kullukum raa’in wakullun raa’in mas’ulun ‘an ra’iyatihi.
Sejak awal berdirinya GP Ansor telah banyak memberi berkah kepada para pemimpinnya: Chalid Mawardi menjadi duta besar; Tosari Wijaya dan Slamet Effendy Yusuf bisa malang-melintang di Senayan; KH Hasyim Muzadi menjadi cawapres; dan sekarang Gus Ipul menjadi wagub Jatim. Pengurus wilayah, pengurus cabang, dan pengurus anak cabang banyak yang menjadi anggota legislatif. Paling tidak, dalam pemilu atau pilkada, mereka bisa menjadi washilah pengumpulan suara. Sedangkan anggotanya? Sejak zaman komunikasi menggunakan kenthong titir hingga SMS peran dan fungsinya tetap: membayar iuran, membayar sumbangan untuk kegiatan, dan dikerahkan untuk apel, istighotsah, serta berbagai bentuk aksi dukung-mendukung.
Mereka ibarat wayang: dikeluarkan dari kotak jika hendak dimainkan dan kembali dimasukkan setelah permainan usai. Sedangkan imbalannya masuk ke kantong dalang, sinden, para panjak (pengrawit), dan para combe (calo). Sahabat Buadi, Sahabat Toha, Sahabat Asykar, Sahabat Kaji Amin, dan para pengurus Satkorcab atau Satkoryon selalu tampil gagah pada setiap melakukan pengamanan.
Akan tetapi, mereka tetap sebagai penjual roti goreng, penjual penthol jos, tukang batu, dan pedagang pracangan, tanpa pernah sekali pun ikut menikmati berkah yang diperoleh orang-orang yang telah dijamin keamanannya. Tetap setianya mereka pada organisasi bukan karena kehebatan para petinggi GP Ansor, melainkan karena kesadaran serta keikhlasan mereka dalam berkhidmat kepada organisasi.
Harus diakui bahwa para petinggi GP Ansor adalah orang-orang hebat. Akan tetapi, tanpa ditopang oleh jumlah anggota yang sangat besar, mereka tidak akan berarti. Karena itu, pada momen Harlah tahun ini, para petinggi GP Ansor harus mulai belajar memikirkan nasib anggotanya. Mereka harus dapat mengubah paradigma organisasi serta pola hubungan dari emosional idealis menjadi rasional idealis. Kalau tidak, keberadaan GP Ansor akan kian tidak jelas karena ditinggalkan oleh anggotanya.
Dengan berbekal komentar prematur Gus Ipul, sahabat-sahabat petinggi GP Ansor boleh mencuri start untuk melakukan lobi-lobi politik agar jika SBY terpilih kembali mendapat kedudukan empuk seperti Gus Ipul.
Tetapi, Antum harus ingat bahwa Mbah Wahab (Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah) mengubah Pemuda Nahdlatoel Oelama (PNO) menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) agar kita mewarisi semangat serta keikhlasan penduduk Yatsrib, suku Aus dan suku Khazraj, ketika membantu kaum muslimin Makkah yang sedang hijrah. Mbah Wahab juga berharap, serta mendoakan, agar kita menjadi penerus kaum Hawariyyin sebagai penolong agama Allah; nahnu ansharullah! Penolong agama Allah kok hanya pethakilan di wilayah kekuasaan, Cak! (Telah diterbitkan Duta Masyarakat, 24 April 2009)