Kamis, 22 Januari 2009

Pernyataan dan Sikap PBNU atas Serangan Israel terhadap Palestina


Selasa, 06 Januari 2009 15:53
Memperkuat pernyataan bersama NU dan ormas-ormas Islam dalam rangka menyambut Tahun Baru 1430 H, yang di dalamnya terdapat pernyataan tentang agresi Israel terhadap wilayah Palestina pada 30 Desember 2008 lalu. Dan, mengikuti perkembangan terakhir peristiwa ini, PBNU perlu menegaskan kembali sikap tentang hal ini.
Masyarakat dunia sedang menyaksikan kesombongan, keangkuhan dan kebrutalan Israel dengan serangan ke wilayah Gaza, Palestina, sejak sepekan yang lalu. Serangan udara maupun darat telah menghancurkan wilayah bangsa Palestina dan telah menyebabkan lebih dari 500 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya terluka. Banyak di antaranya adalah rakyat biasa, perempuan dan anak-anak yang tidak berdosa.

Jelas-jelas serangan itu, dengan alasan apa pun, adalah tindakan biadab yang jauh dari moralitas bangsa beradab. Serngan juga telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, menginjak-injak rasa keadilan, kedaulatan bangsa Palestina serta bangsa-bangsa lain dan masyarakat dunia yang cinta perdamaian.

Mengingat serangan tersebut sampai hari ini masih terus berlanjut dan korban rakyat Palestina terus berjatuhan, sementara Israel tanpa malu terus melakukan serangan ke wilayah Gaza, sedangkan PBB dan bangsa-bangsa lain di dunia belum mengambil tindakan untuk mengentikan serangan Isreal, dengan ini PBNU menegaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengutuk tindakan penyerangan tentara Israel ke wilayah Gaza, Palestina, karena hal itu adalah sebuah tindakan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai, menghancurkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa lain, menginjak-injak perikemanusiaan dan tidak menghormati hubungan baik sesama bangsa. Serangan itu betul-betul telah memberikan bukti nyata bahwa Israel telah melakukan kekejaman yang mengakibatkan korban masyarakat sipil, perempuan dan anak-anak yang tidak berdosa. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap konvensi Genewa dan masyarakat dunia harus menganggap serangan Israel itu sebagai tindakan kejahatan perang.

2. Mendesak negara-negara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah guna menghentikan serangan Israel terhadap Palestina, dan mendesak PBB untuk menjatuhkan sanksi berat terhadap Israel, termasuk mengajukan para pemimpin Israel ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang, agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di dunia ini. NU sangat menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi penghentian serangan Israel terhadap Gaza, karena adanya penolakan oleh satu negara.

3. Menyerukan kepada pemerintah Amerika Serikat dan negara sekutunya agar dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi dan tuntutan masyarakat dunia bahwa apa yang telah dilakukan Israel adalah bukti nyata tidak ada kemauan Israel untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah dan sebaliknya, dengan tanpa malu melakukan peninstaan terhadap prinsip-prinsip hubungan antarbangsa yang menjunjung tinggi dan menghormati hak bangsa lain untuk hidup merdeka dan berdaulat.

4. Mendesak PBB dan negara-negara besar untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah yang adil dan langgeng. Upaya-upaya yang dilakukan itu tentunya tidak hanya lip service sebagaimana kesan selama ini, melainkan upaya yang sungguh-sungguh demi terwujudnya perdamaian yang hakiki. Dalam konteks ini, peran obyektif Amerika Serikat, yang selama ini menjadi pendukung setia Israel, sangat diharapkan, karena hal ini akan menentukan terwujudnya perdamaian yang dimaksud.

5. Menyerukan kepada seluruh faksi politik dan kelompok masyarakat Palestina, khususnya para pemimpin Hamas dan Fatah, para alim ulama dan cerdik pandai untuk secara sungguh-sungguh merapatkan barisan, menyatukan pandangan dan bersikap lebih realistis serta bersatu memperjuangan Palestina yang merdeka dan berdaulat.

6. Mendorong pemerintah Indonesia untuk melanjutkan pengiriman bantuan kemanusiaan kepada Palestina dan bahkan untuk mengirim tentara perdamaian di bawah bendera PBB serta melakukan inisiasi dan langkah-langkah diplomasi dalam rangka penghentian serangan dan pemberian sanksi.

7. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususny warga NU, untuk menggalang solidaritas membantu rakyat Palestina, melalui penggalangan dana, relawan kemanusiaan, pengiriman obat-obatan dan pakaian, istighosah, qunut nazilah, zikir dan doa bersama untuk keselamatan para pejuang Palestina dan untuk para korban kaum muslimin Palestina yang gugur sebagai syuhada.

8. PBNU melalui International Conference of Islamic Scholars (ICIS) bekerja sama dengan jaringan civil society di dunia yang peduli dengan perdamaian di Timur Tengah akan berusaha menggalang solidaritas dan menyamakan pandangan serta mengambil langkah untuk mendorong terciptanya iklim yang kondusif di Timur Tengah bagi terselenggaranya perundingan damai antara Palestina dan Israel serta mengambil langkah-langkah untuk menggalang bantuan moral maupun materi bagi korban serangan brutal Israel terhadap Palestina.

9. PBNU menginstruksikan kepada Pengurus Cabang Istimewa NU di Timur Tengah dan Afrika, seperti, Arab Saudi, Suriah, Yordania, Irak, Iran, Mesir, Tunisia dan Maroko agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membantu korban rakyat Palestina akibat serangan Israel.

Jakarta, 5 Februari 2009/6 Muharram 1430

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama



H Hasyim Muzadi Dr Endang Turmudi MA
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

KH Abdul Chalim Majalengka (1898-1972)
Pengurus SI Hijaz Termuda
02/01/2009

Di balik setiap peristiwa-peristiwa penting sejarah, tentu terdapat nama-nama yang melambung. Nama-nama yang kemudian menjadi terkenal dan menjadikan figur-figur tertentu sebagai idola dan panutan di kemudian hari. Nama-nama inilah yang kemudian disebut sebagai tokoh. Beberapa di antaranya bahkan melegenda dan bertahan hingga beberapa generasi.

Namun tentu saja, tidak semua nama-nama yang terlibat dalam setiap peristiwa penting, kemudian ikut menjadi nama penting yang selalu disebut-sebut khayalak setelahnya. Di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), terdapat nama-nama besar yang kemudian melegenda dan dikenang hingga beberapa generasi. Namun tentu saja ada nama-nama yang juga sangat berperan dalam proses kelahiran NU sembari tetap menjadi nama-nama yang bersahaja dan merakyat. Tetap menjadi nama yang tidak menimbulkan rasa menjauh dari dunia kelahirannya. Salah satu di antara nama-nama yang tetap menjadi dekat dengan rakyat, tetap menjadi nama rakyat adalah KH Abdul Chalim bin Kedung, Leuwimunding Majalengka.

Ulama kelahiran tahun 1898 ini merupakan bagian sejarah besar. Namun tidak serta-merta menjadikan dirinya melambung manjauh dari rakyat kebanyakan. Meski namanya tercatat dalam berbagai peristiwa penting, namun KH Abdul Chalim tetap dikenal sebagai bagian dari rakyat kebanyakan.

Pentingnya Solidaritas Sosial dan Moderat
Hal ini dikarenakan KH Abdul Chalim menerapkan prinsip-prinsip solidaritas sosial sepanjang hidupnya. Solidaritas (ashobiyyah) inilah yang juga dididikkan kepada setiap santrinya. Solidaritas yang dianaut oleh KH Abdul Chalim ini berlaku dalam kelompok kecil maupun komunitas yang besar. Menurut KH Abdul Chalim, Solidaritas sangatlah penting dalam mempererat jalinan hubungan di antara komunitas-komunitas agama maupun politik. Tujuan gerakan keagamaan tidak akan tercapai tanpa adanya solidaritas politik.

Prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas merupakan salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan syara’ dapat mendekatkan diri kepada Allah. Namun agar tidak terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit, yakni ritual semta. Maka perlu dilakukan sebuah penyeimbangan. Nah menurut KH Abdul Chalim, penyeimbangan ini dapat dilaksanakan dengan terus menumbuhkan solidaritas dalam setiap sendi umat Islam.

Solidaritas ini sendiri, dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas sosial. Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai tujuan-tujuan kenegaraan dan kebangsaaan. Sedangkan solidaritas kemasyarakatan adalah kebersamaan umat Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan sehari-hari. Sehingga kehidupan umat Islam tidak monoton, memandang nilai ibadah bukan hanya dari sisi ibadah ritual mahdah saja. Namun keseluruhan kehendak dan usaha untuk mewujudkan kehidupan yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Dalam pandangan KH Abdul Chalim, kepasrahan total dan tawakkal kepada Allah SWT adalah hal yang senantiasa diri dan seluruh keluarga serta murid-muridnya. Namun demikian, KH Abdul Chalim juga sangat mengedepankan kompromi dalam mencapai kesepakatan-kesepakatan melalui musyawarah.

Sifat terbuka yang dimiliki oleh KH Abdul Chalim ini tidak lepas dari pengaruh yang ditorehkan oleh guru tercintanya, KH Wahab Hasbullah Jombang. Selama berguru kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemempuan ilmiahnya.

Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul Chalim. Bagi KH Abdul Chalim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan syariat bagi kehidupan masyarakat menupakan sebuah terobosan yang sangat urgen dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.

Kondisi perjuangan fisik kala itu menjadikan konsep-konsep yang ditawarkan oleh KH Abdul Chalim dapat diterima oleh rekan-rekannya di Nahdlatul Wathan. Konsep-konsep yang dimaksudkan sebagai pendekatan sosial adalah membuat perbandingan-perbandingan kiasan antara kondisi-kondisi yang digambarkan dalam kitab-kitab kuning dengan kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat Nusantara saat itu. Yakni merealisasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang dapat menaungi seluruh penduduknya dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.

Dengan demikian, dalam pandangan KH Abdul Chalim, solidaritas warga tetap dapat dipertahankan setelah penjajahan berhasil dienyahkan dari Nusantara kelak. Pendapat-pendapatnya mengenai solidaritas masyarakat Muslim, khususnya di tanah jajahan Hindia Belanda ini didapatkannya dari pengalamannya selama berguru kepada para ulama. Sejak dari daerah sekitar tanah kelahirannya ketika kecil hingga ke darah-dararah lain di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Di mana Pesantren Trajaya di Majalengka, Pesantren Kedungwuni di kadipaten dan Pesantren Kempek di Cirebon adalah tempat Abdul Chalim menimba ilmu semasa kecilnya.

Mendamaikan Sengketa para Senior
Pada tahun 1914 ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, Abdul Chalim berkesempatan untuk menuntut menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz. Di sanalah Abdul Chalim sempat menimba ilmu secara langsung dari Abu Abdul Mu’thi, Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang lebih tersohor dengan sebutan Imam nawawi al-Bantani.

Ketika menuntut ilmu di Hijaz inilah KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama Nusantara dari daerah-daerah lainnya. Dari sinilah beberapa ulama ini kemudian menjadi teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang paling akrab sebagai teman sekaligus gurrunya ini adalah KH Wahab Hasbullah Jombang. Saat itu Abdul Chalim adalah anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI), termuda di Hijaz. Di mana SI adalah organisasi para ulama Nusantara yang berkonsentrasi untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda di Nusaantara. Melalui SI, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat, ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke NU setelah organisasi yang terakhir ini didirikan pada tahun 1926.

Selama menuntut ilmu di Mekkah inilah sifat moderat dan kompromi sebagi ulama yang berjiwa besar ditunjukkan oleh Abdul Chalim. KH Abdul Chalim-lah yang mendamaikan KH Wahab Hasbullah Jombang dan KHR Asnawi Kudus ketika keduanya terlibat sebuah persengketaan di Hijaz. Pada waktu itu kedua ulama yang sedang bersengketa ini merupakan senior sekaligus guru dari KH Abdul Chalim. Sementara itu Abdul Chalim juga patuh ketika KH Wahab Hasbullah menegurnya karena sering memperdengarkan kidung bergaya Pasundan ketika mereka sedang mengulang-ulang pelajaran.

Kelahirannya sebagai putra tunggal seorang kuwu di Majalengka menjadikan KH Abdul Chalim tidak cangung lagi ketika dilibatkan dalam berbagai kepengurusan di SI Hijaz. Demikian pun ketika ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1917.

Sepulangnya dari tanah Suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan belanda yang kian hari kian kejam saja.

Abdul Chalim terhitung menikahi empat orang wanita. Pada usia 21 tahun Abdul Chalim menikahi gadis Petalangan, Kuningan sebagai isteri pertama. Tiga tahun kemudian, Abdul Chalim menikahi Siti Noor, gadis asal Pasir Muncang Majalengka. Dalam perjalanan untuk mencari penghidupan ke daerah Jakarta sebagai pelayan toko dan kuli panggul di stasiun kereta api –meski dirinya adalah anak seorang kuwu, Abdul Chalim menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak di daerah Kramat Jati Jakarta. Ketika bekerja dan membuka pengajian di Kramat jati ini Abdul Chalim di dampingi oleh Istri keduanya, Siti Noor asal Majalengka.

Sedangkan isteri keempatnya dinikahi di tengah-tengah perjuangannya mengusir penjajahan Belanda seputar berkecamuknya pertempuran Surabaya ketika Resolusi Jihad dikumandangkan. Istrei ketiganya adalah Ny. Sidik Shindanghaji dari Leuwimunding. Sebelumnya, KH Abdul Chalim telah lebih dahulu menikahi Ny. Konaah sebagai isteri ketiga.

Tahun 1921 karena ayahnya meninggal dunia, maka KH Abdul Chalim kembali ke Majalengka dan memboyong istri pertamanya yang di Petalangan ke Leuwimunding. Sementara istri keduanya telah bercerai darinya. Namun karena situasi yang semakin tidak menentu, maka Abdul Chalim memulangkan kembali isterinya ini ke Petalangan demi alasan keamanan. Sementara Abdul Chalim sendiri kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia pergerakan dan pendidikan.

Kenalkan Aswaja Hingga Level Terbawah

Abdul Chalim kemudian mengembara ke Surabaya untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangannya. Di Surabaya, atas jasa Kyai Amin Peraban, Abdul Chalim bertemu kembali dengan KH Wahab Hasbullah senior sekaligus gurunya selama di Hijaz. Karena hubungan baiknnya, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di Nahdlatul Wathan di kampong Kawatan VI Surabaya. Selain mengajar KH Abdul Chalim juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan belajar mengajar seta pembukaan forum-forum diskusi.

Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu Balaghoh (sastra Arab kuno) maka KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali menciptakan syair-syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri yang tergabung di dalam Nahdlatul Wathan.

Kedekatan KH Abdul Chalim dengan KH Wahab Hasbullah menjadikan yang pertama sebagai pengikut setia sekaligus semacam asisten bagi nama kedua. Melalui aktivitasnya di Nahdlatul Wathan inilah KH Abdul Chalim menerapkan gagasan-gagasan keagamannya tentang interaksi sosial dan solidaritas politik dan kebangsaan dalam masyarakat. Selain nahdlatul Wathan, KH Abdul Chalim juga tercatat sebagai pengajar di Tashwirul Afkar Surabaya.

Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan kebodohan umat. Setiap pulang ke Majalengka, KH Abdul Chalim selalu mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengajarkan dan memperkenalkan faham Ahlussunnah Waljamaah. KH Abdul Chalim selalu membagi-bagikan gambar-gambar dan surat kabar Swara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan sekitarnya.

Tahun 1942 ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah penjajahan Jepang, KH Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya. Intervensi Jepang kepada para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan kebanggan para pemuda untuk menjadi komunis merupakan dilema yang sangat sulit dihadapi.

Dalam situasi inilah KH Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang majalengka bersama KH Abbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bahu membahu bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar santri maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada tahun 1955 KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.

Pada suatu hari tanggal 11 April 1972 M., selepas menunaikan ibadah sholat KH Abdul Chalim menghadap Ilahi dengan tenang dan dimakamkan di kompleks pesantren Sabilul Chalim Leuwimunding, Majalengka. (Syaifullah Amin, Disarikan dari buku "KH Abdul Chalim Kenapa Harus Dilupakan?" karya J. Fikri Mubarok)

Berdzikir Memakai Tasbih
20/01/2009

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.


KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember