Jumat, 24 April 2009

Ansor Jabar-Dede Yusuf Berantas Vila Liar

Wednesday, 4 March 2009 19:53

Bogor (GP-Ansor): Gerakan penghijauan yang selama ini menjadi langkah Ansor Jawa Barat tampaknya bersinergi dengan Program Pemda Jawa Barat. Apalagi Wakil Gubernur Jawa Barat berani meminta pejabat negara negara tak punya vila di kawasan Puncak. “Gerakan ini semata-mata untuk penyelamatan lingkungan. Ini selaras dengan langkah Ansor dalam mengembalikan blok hijau.”

Demikian dikatakan Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf saat penanaman pohon dalam rangka pemulihan kualitas lingkungan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung di Kampung Sukatani, Desa Tugu Utara, Kec Cisarua, Kabupaten Bogor 4 Maret 2009. Adapun sejumlah menteri yang hadir Menteri PU Djoko Kirmanto, Menhut M.S. Ka’ban, Mentan Anton Apriantono, Menteri LH Rachmat Witoelar dan Sekretaris PW Ansor Jawa Barat, Iwan Alamsyah.

Diakui Dede, Bopuncur merupakan kawasan strategis dan menjadi kawasan lindung bagi konservasi DAS Ciliwung yang airnya mengalir sampai Ibu Kota Jakarta. “Para menteri yang hadir di sini saya yakin tidak punya vila di kawasan terlarang karena menteri menterinya zaman reformasi,” jelasnya.

Selama ini pemerintah kesulitan menertiban kawasan Bopuncur karena banyak berdiri vila yang dimiliki orang kuat Jakarta, termasuk sejumlah pejabat Orde Baru dan para pensiunan jenderal. “Bersama empat menteri yang hadir di sini, kita akan tegas menegakan aturan. Tapi Pemprov harus dapat support pusat,” ungkap Dede.

Lebih jauh kata salah satu nominasi capres PAN ini, dia mengusulkan pemerintah pusat memberi kewenangan kepada daerah dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Wagub juga minta pemerintah pusat menyelamatkan seluruh DAS. “Jangan karena Ciliwung melintas ibu kota negara lalu pusat begitu serius. Kita ingin seluruh DAS diselamatkan,” tandasnya.

Sementara itu, Sekretaris PW Ansor Jawa Barat, Iwan Alamsyah mendukung langkah Wagub Jawa Barat, Dede Yusuf yang menertibkan vila-vila liar, alias tak memiliki izin. “Tampaknya agenda Ansor juga memiliki kesamaan pandangan dengan Dede Yusuf, karena itu kita mendukung langkah menertibkan vila-vila yang tak memiliki ijin,” katanya.

Menurut Iwan, Blok Hijau yang sempat diluncurkan Ketua umum Saifullah Yusuf sudah berjalan di beberapa daerah, Garut, Tasikmalaya, Depok dan lain-lainnya. “Beberapa waktu lalu, sudah berjalan aksi penghijauan di Garut, aksi penanaman pohon cemara, Tasikmalaya pohon buah-buahan dan Depok menanam pohon belimbing,” jelasnya.

Yang jelas, kata Iwan, pihaknya juga akan bekerja sama lebih jauh bersama dengan Dede Yusuf dalam penyelamatan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur, bukan hanya menertibkan vila, namun juga dengan aksi ke lapangan untuk menanam berbagai pohon.

Sementara itu, Menteri LH Rachmat Witoelar memuji komitmen dan keberanian Wagub Dede Yusuf. ”Kita senang punya Wagub yang begitu paham dan mencintai lingkungan. Dia ibarat ade saya saat dulu di Komisi VII DPR. Sekarang ade saya ini dapat mandat rakyat Jabar untuk menyelamatkan lingkungan. Mari kita dukung ramai-ramai,” jelas Rachmat. [eko]

Kembalinya Pengikut Ahmadiyah di Tasikmalaya ke Jalan yang Benar

Sunday, 19 April 2009 5:45

ahmadiyahWakil Ketua GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya: jumlah penganut ajaran Ahmadiyah di Kecamatan Salawu mencapai 3.500 orang, sudah ada 33 KK yang telah berikrar kembali kepada agama Islam.

Tasikmalaya (GP-Ansor0: “Asyhadu anllaa ilaha illallah Wa Asyhadu anna muhaammadarrasullullaah.” Dua kalimat syahadat itu bergema di Masjid Al-Barokah, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (17/4). Sekitar pukul 09.30 WIB, sebanyak 35 warga desa itu berikrar untuk memeluk Islam, satu-satunya agama yang diridai Allah SWT.

Parpol Islam Gagal Berkomunikasi dengan Pemilih Muslim

Friday, 24 April 2009 16:26

Yogyakarta (GP-Ansor): Guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Abdul Munir Mulkhan menilai parpol Islam tidak berhasil memenangkan suara mayoritas dalam Pemilu Legislatif 2009 karena gagal berkomunikasi dengan pemilih muslim.

“Mereka tidak pernah menyadari dukungan politik partai-partai Islam tersebut akibat kegagalan komunikasi dengan pemilih muslim sendiri, apalagi dengan pemilih nonmuslim,” katanya dalam acara peluncuran satu buku di Yogyakarta, Jumat (24/4).

Abdul Munir menuturkan, hanya pada Pemilu 1955 parpol Islam meraih mayoritas dengan 44 persen suara, selebihnya tidak pernah lagi.

Pada Pemilu 1971 semasa Orde Baru seluruh partai Islam hanya memperoleh 27,11 persen, lalu pada Pemilu 1977 memperoleh 29,29 persen, kemudian setelah seluruh partai Islam digabung dalam PPP suara berkurang lagi menjadi 27,78 persen pada Pemilu 1982.

Kemudian, suara partai Islam berkurang lagi menjadi 15,97 persen pada Pemilu 1987, 17 persen Pemilu 1992 dan dan 21 persen Pemilu 1997. Terakhir, dalam dua kali pemilu selama reformasi, partai-partai Islam memperoleh 37,5 persen pada Pemilu 1999 dan naik lagi menjadi 41,99 persen pada Pemilu 2004.

Kini, pada Pemilu 2009, menurut hitungan sementara, parpol Islam memperoleh suara sekitar 28 persen. Angka ini termasuk perolehan PAN (6,3 persen) dan PKB (5,1 persen) yang keduanya sudah menyatakan sebagai partai terbuka.

“Jika dikurangi kedua partai ini, suara partai Islam hanya sekitar 17,5 persen,” katanya.

Abdul Munir Mulkhan mengkritik argumentasi para aktivis partai Islam yang acap menuding konspirasi kekuatan anti Islam dari dalam negeri dan asing berada di belakang terus menurunnya dukungan publik pada parpol Islam.

Dia juga mengkritik pendekatan kitab yang normatif harfiah nan hitam putih yang memokuskan perhatian pada hanya soal surga neraka atau halal haram, padahal pendekatan sosial budaya berperan penting dalam membangun simpati publik pada parpol Islam.

“Menjadi muslim ternyata tidak berbanding lurus dengan memilih partai Islam. Pilihan politik seorang muslim melibatkan beragam model hubungan dari pertemuan, kekeluargaan, kepentingan sesaat atau harapan hidup lebih baik,” katanya.

Partai Islam sendiri lebih banyak didukung sebagian kaum santri yang jumlahnya 25 persen dari pemeluk Islam, namun ironisnya banyak dari mereka menjadi aktivis atau berkarya di Golkar, PDIP, dan kini Partai Demokrat yang mereka nilai jauh dari stigma lama nasionalis atau sekuler. (

GP Ansor Jepara Gelar Istighotsah di Pantai Kartini

Friday, 24 April 2009 14:33

kura2-jepJepara (GP-Ansor): Sekitar lima ribu orang umat muslim dari berbagai penjuru, memadati kompleks Wisata Pantai Kartini Jepara, Kamis (23/4) malam. Mereka memusat di bawah kepala Bangunan Kura-Kura Raksasa, yang saat ini menjadi bagian penting dari sebuah isu besar di Jepara. Didominasi pakaian putih dengan kerudung dan kopiah berwarna senada, mereka memanjatkan permohonan doa, melalui sebuah kegiatan istighotsah. Bupati Jepara Drs Hendro Martojo dan Wabup H Ahmad Marzuki menjadi tamu penting dalam istihotsah tersebut. Sebagian besar pejabat teras Pemkab Jepara juga hadir.

Istihotsah yang digelar oleh GP Ansor Jepara ini mendatangkan Habib Abdulah Ridwan, asal Mayong, Jepara. Menjelang tengah malam, kegiatan ini baru selesai.

Ketua GP Ansor M Jafar menyatakan, kegiatan ini merupakan wujud syukur atas situasi yang terjadi di Jepara paska Pemilu Legislatif. Tidak ada yang khusus dalam istighotsah ini, termasuk kaitanya dengan ramalan Mama Laurent. Istighotsah ini menurutnya merupakan kegiatan rutin bagi umat muslim di Jepara.

”Kalau ada kaitan dengan ramalan itu, barangkali adalah soal tempatnya saja. Kami hanya ingin mengajak masyarakat untuk mengenalkan objek wisata ini. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan ramalan tersebut, sebab nyatanya istighotsah ini berjalan dengan aman dan nyaman,” ujar Jafar.

Sementara itu, Bupati Jepara dalam sambutannya justru dengan jelas memberi penekanan terhadap isu tsunami yang muncul setelah adanya ramalan Mama Laurent tersebut. Ramalan menurut Bupati tetap hanyalah ramalan yang bisa terjadi bisa juga tidak. Namun Bupati berharap atas ramalan tersebut masyarakat tidak panik. Bupati tetap meminta masyarakat untuk berpasrah diri pada Allah SWT.

”Jepara ini tidak berada di garis patahan bumi dan jauh dari gunung berapi. Sehingga kecil kemungkinan akan terjadi gempa yang bisa menimbulkan tsunami. Jadi tidak usah khawatir dengan isu adanya tsunami,” ujar Bupati Jepara, Hendro Martojo dengan menggunakan bahasa Jawa.

Isapan jempol

kura2-jep2Ramalan Mama Laurent yang ditafsirkan oleh masyarakat Jepara akan adanya bencana tsunami, mulai mendapatkan reaksi dari beberapa kalangan. Salah satunya muncul dari Wendar Arinugroho, Ketua DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Jepara. Tokoh yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Win ini meminta masyarakat untuk menyikapi ramalan tersebut dengan akal sehat.

Menurut Gus Win, dari tinjuan ilmiah ramalan Mama Laurent tersebut hanya isapan jempol belaka. Tidak ada bukti-bukti ilmiah yang mendukung pernyataanya itu. Kemudian dari sisi Ilmu Semiotik (Ilmu titen), ramalan tersebut juga tidak disertai dengan tanda-tanda tertentu yang menyertainya.

Kemudian dari sisi Metafisika, ramalan tersebut boleh-boleh saja disampaikan ke masyarakat. Namun demikian, seorang peramal seharusnya bisa memberikan jalan keluar atas ramalan yang dilontarkannya tersebut. Jika ia tidak bisa memberikan jalan keluar, maka lebih baik peramal tersebut tidak usah menyampaikannya ke masyarakat. Karena dampaknya akan menimbulkan keresahan pada masyarakat.

“Ramalan pada dasarnya tetap ramalan. Dia bisa menjadi kenyataan namun bisa saja tidak menjadi kenyataan. Dalam hal ini tergantung siapa yang menanggapi ramalan tersebut. Dalam kasus ini, tentu saja yang paling tepat adalah menanggapinya dengan akal sehat,” ujar Gus Win, Jumat (24/4) pagi tadi.

Ada sisi positif yang bisa diambil dari ramalan tersebut, menurut Gus Win. Sisi positif itu adalah, mengingatkan masyarakat untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Lainnya, isu ini bagaimanapun telah membuat Jepara menjadi lebih dikenal.

“Kalau ramalan saya, Jepara justru akan bertambah makmur jika nanti bangunan kura-kura tersebut benar-benar telah selesai. Itu ramalan saya,” katanya sambil tersenyum

Refleksi Harlah ke-75 GP Ansor: Naashirun Jadi Manshuurun

Friday, 24 April 2009 13:48

Oleh: Nawawi A Manan, Penasehat PC GP Ansor Sidoarjo

nawawi_opiniLangkah Pimpinan Pusat (PP) GP Ansor dalam menyikapi pemilu legislatif 2009 cukup spektakuler. Ketika hampir semua komponen bangsa membicarakan berbagai kecurangan dan pelanggarannya, Ketua Umum PP GP Ansor Drs H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sudah menyampaikan dukungan terhadap duet Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla (SBY-JK). “SBY - JK adalah pasangan ideal,” kata Gus Ipul (Duta, 14/04/ 2009). Dengan pernyataan tersebut berarti PP GP Ansor meniadakan berbagai pelanggaran dalam pemilu.

Sebagai orang yang telah berhasil merebut jabatan dengan melakukan berbagai kecurangan, Gus Ipul layak berteriak: the show must go on! Dan, sebagai Wagub Jatim yang diusung oleh Partai Demokrat, Gus Ipul memang wajib menyampaikan dukungan kepada SBY sebagai sembah sungkemnya.

Akan tetapi, sebagai Ketua Umum PP GP Ansor, dia tidak boleh menjustifikasi kekuatan politik manapun. Dengan pernyataan tersebut berarti Gus Ipul telah menjadikan GP Ansor sebagai alat untuk melegitimasi praktik kebusukan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pernyataan sikap tersebut tampak sederhana, tetapi efek negatifnya luar biasa karena GP Ansor telah menjadi subordinasi kekuasaan.

Meskipun demikian, tidak ada pimpinan wilayah (PW), pimpinan cabang (PC), atau anggota GP Ansor yang mereaksi. Semua seolah sepakat bersikap ijma’ sukuti. Mungkin ini adalah indikasi bahwa sesungguhnya GP Ansor memang telah disalahfungsikan.

Seperti Nahdlatul Ulama (NU), sejak berakhirnya kekuasaan rezim Soeharto, GP Ansor memang telah mengalami pergeseran status karena sering digunakan sebagai kendaraan politik oleh para pengurus yang tidak betah bertahan di wilayah kultural. Banyak kader NU yang berhasil meraih jabatan politis melalui GP Ansor. Keberhasilan Gus Ipul menjadi anggota Kabinet Persatuan Nasional, kemudian Wagub Jatim, juga karena meggunakan kendaraan GP Ansor.

Para aktivis GP Ansor sangat bangga dan bersyukur terhadap berbagai perubahan serta keberhasilan tersebut. Akan tetapi, banyak anggota GP Ansor yang mencibir, bahkan apriori. Sebab, perubahan serta keberhasilan itu hanya dinikmati oleh para petinggi GP Ansor. Sehingga, fenomena yang terjadi antara di atas dan di bawah tidak sama, bahkan bertolak belakang. Kalau di tingkat atas tumbuh gairah dan soliditas karena banyak faktor perangsangnya, pada level bawah justru terjadi kristalisasi sehingga keberadaan GP Ansor kian tidak jelas. Dan, yang amat memprihatinkan, kecemburuan terhadap keberhasilan ekonomi para pertinggi GP Ansor mengakibakan banyak aktifis GP Ansor bermental yadus sufla. Mereka tidak lagi memainkan fungsi naashirun (penolong) tetapi menjadi manshuurun (minta ditolong).

Secara perlahan tapi pasti, GP Ansor kehilangan kepercayaan (trust) dari anggotanya. Faktor utama penyebabnya ialah anggota GP Ansor hanya dituntut melaksanakan kewajiban, tetapi haknya hampir tidak pernah diberikan, selain hak terhadap organisasi — seperti hak bersuara dalam rapat.

Sedangkan hak yang berhubungan dengan kepentingan pribadi anggota tidak pernah ada. Dalam PD/PRT GP Ansor memang tidak pernah disebutkan bahwa anggota harus diberi kredit lunak. Akan tetapi, secara otomatis, dalam kepemimpinan GP Ansor berlaku hukum: kullukum raa’in wakullun raa’in mas’ulun ‘an ra’iyatihi.

Sejak awal berdirinya GP Ansor telah banyak memberi berkah kepada para pemimpinnya: Chalid Mawardi menjadi duta besar; Tosari Wijaya dan Slamet Effendy Yusuf bisa malang-melintang di Senayan; KH Hasyim Muzadi menjadi cawapres; dan sekarang Gus Ipul menjadi wagub Jatim. Pengurus wilayah, pengurus cabang, dan pengurus anak cabang banyak yang menjadi anggota legislatif. Paling tidak, dalam pemilu atau pilkada, mereka bisa menjadi washilah pengumpulan suara. Sedangkan anggotanya? Sejak zaman komunikasi menggunakan kenthong titir hingga SMS peran dan fungsinya tetap: membayar iuran, membayar sumbangan untuk kegiatan, dan dikerahkan untuk apel, istighotsah, serta berbagai bentuk aksi dukung-mendukung.

Mereka ibarat wayang: dikeluarkan dari kotak jika hendak dimainkan dan kembali dimasukkan setelah permainan usai. Sedangkan imbalannya masuk ke kantong dalang, sinden, para panjak (pengrawit), dan para combe (calo). Sahabat Buadi, Sahabat Toha, Sahabat Asykar, Sahabat Kaji Amin, dan para pengurus Satkorcab atau Satkoryon selalu tampil gagah pada setiap melakukan pengamanan.

Akan tetapi, mereka tetap sebagai penjual roti goreng, penjual penthol jos, tukang batu, dan pedagang pracangan, tanpa pernah sekali pun ikut menikmati berkah yang diperoleh orang-orang yang telah dijamin keamanannya. Tetap setianya mereka pada organisasi bukan karena kehebatan para petinggi GP Ansor, melainkan karena kesadaran serta keikhlasan mereka dalam berkhidmat kepada organisasi.

Harus diakui bahwa para petinggi GP Ansor adalah orang-orang hebat. Akan tetapi, tanpa ditopang oleh jumlah anggota yang sangat besar, mereka tidak akan berarti. Karena itu, pada momen Harlah tahun ini, para petinggi GP Ansor harus mulai belajar memikirkan nasib anggotanya. Mereka harus dapat mengubah paradigma organisasi serta pola hubungan dari emosional idealis menjadi rasional idealis. Kalau tidak, keberadaan GP Ansor akan kian tidak jelas karena ditinggalkan oleh anggotanya.

Dengan berbekal komentar prematur Gus Ipul, sahabat-sahabat petinggi GP Ansor boleh mencuri start untuk melakukan lobi-lobi politik agar jika SBY terpilih kembali mendapat kedudukan empuk seperti Gus Ipul.

Tetapi, Antum harus ingat bahwa Mbah Wahab (Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah) mengubah Pemuda Nahdlatoel Oelama (PNO) menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) agar kita mewarisi semangat serta keikhlasan penduduk Yatsrib, suku Aus dan suku Khazraj, ketika membantu kaum muslimin Makkah yang sedang hijrah. Mbah Wahab juga berharap, serta mendoakan, agar kita menjadi penerus kaum Hawariyyin sebagai penolong agama Allah; nahnu ansharullah! Penolong agama Allah kok hanya pethakilan di wilayah kekuasaan, Cak! (Telah diterbitkan Duta Masyarakat, 24 April 2009)

MENGUJI JATI DIRI KNPI

Sunday, 19 April 2009 5:09

Oleh Eddy Prasetyo, Wakil Ketua PW NU Kepri, Sekretaris PW GP ANSOR Kepri, Sekretaris DPD KNPI Kepri, Sekretaris Forum Silaturahmi Kebangsaan Kepri, Penasihat Gerakan Anti Traficking (GAT) Kepri

3176_1113069302777_1108257514_30581449_2829960_nKongres XII Pemuda – Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Tahun 2008 baik di Jakarta maupun di Pulau Bali baru saja usai. Kedua ajang kongres-pun telah menghasilkan Ketua Umum, yaitu Ahmad Doli Kurnia produk Jakarta dan Azis Syamsudin hasil dari kongres Bali.

Hari ini, kita sama-sama melihat, bahwa KNPI tengah berada di persimpangan jalan. Akankah eksistensi KNPI masih dapat dipertahankan dan dipercaya mampu mewadahi Organisasi Kepemudaan ? ataukah KNPI tetap bertahan untuk larut dalam konflik internal yang berkepanjangan, sehingga menuju jurang kehancuran KNPI itu sendiri.

Menjadi sebuah kenyataan pahit bagi dunia kepemudaan di Indonesia, ditengah hingar bingarnya peringatan Hari Sumpah Pemuda yang ke 80, justru KNPI menorehkan sejarah buram dengan memunculkan konflik internal yang membuahkan dua pelaksanaan kongres di tempat yang berbeda.

Konflik internal yang diawali oleh ketidak harmonisan hubungan antara Ketua Umum Hasanuddin Yusuf (HY) selaku mandataris Kongers XI KNPI di Kinasih Bogor dengan Munawar Fuad (MF) Sekretaris Jendral hasil formatur, kedua figur yang sama-sama berlaga dalam pemilihan Ketua Umum ketika itu.

Menjadi sesuatu yang lumrah ketika konflik mampu dikelola secara arif, cerdas dan dewasa oleh kedua belah pihak, tetapi kenyataan yang terjadi sebaliknya, konflik menjadi terbuka serta menyeret kepada kelompok-kelompok lain untuk saling berhadap-hadapan.

Pihak pemerintah yang diharapkan dapat menjembatani konflik KNPI, dalam hal ini Kementrian Negara Pemuda dan Olah Raga justru dituding cenderung melakukan intervensi melalui pembelaan sepihak yang pada gilirannya lebih memperbesar jurang pemisah di tubuh KNPI.

Secara hukum positif, perseturan terbuka tersebut menunjukkan bahwa KNPI menjadi sebuah “barang berharga” dan “mahal” sehingga patut dan layak diperebutkan oleh para penganut ambisiusisme walaupun harus menempuh cara yang dianggap tidak patut secara etika berorganisasi.

Paradigma bahwa melalui KNPI mampu mengantarkan seseorang menjadi Menpora, mendapatkan jabatan politis dan atau fasilitas tertentu sudah semestinya direevaluasi dan reformasi, karena terbukti membutakan dan menjebak pada membiasnya pergerakan kepemudaan serta melupakan hakikat persatuan dan kesatuan.

Sejarah telah mencatat bahwa KNPI lahir dari rahim kesepakatan organisasi kepemudaan yang menjadikannya sebagai wadah berhimpun dan laboratorium kader dalam upaya menyatukan visi dan missi pemuda bagi mempersiapkan kader berkualitas serta siap menjadi pewaris tongkat estafet kepemimpinan bangsa.

Hampir dipastikan dinamika KNPI menjadi sangat lekat dengan kekuasaan, bahkan ketika Orde Baru berkuasa, format kelembagaan KNPI sangatlah kuat melalui back up legal konstitusional pihak Pemerintah. KNPI menjadi satu-satunya lembaga kepemudaan yang diakui dan diproteksi oleh Pemerintah bahkan diatur dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Mengutip apa yang disampaikan oleh Para Aktivis Gerakan Pemuda Ansor dalam catatan berjudul “Gonjang – Ganjing di Tubuh KNPI” yang senpat beredar di arena Kongres Ancol menyebutkan bahwa Konflik terbuka yang terjadi telah melahirkan berbagai persepsi, Pertama, kader-kader yang bergabung di KNPI yang selama ini dianggap memiliki segudang pengalaman dan intelektualitas ternyata belum mampu menunjukkan sebagai sebuah kekuatan pemersatu bahkan cenderung memelihara dan memproduksi konflik baru yang sangat kontraproduktif.

Kedua, intervensi pemerintah melalui Menpora memperlihatkan betapa kuatnya arus kekuasaan melakukan hegemoni pada organisasi kepemudaan dan secara langsung mencoba mengarahkan gerak politik pemuda (KNPI) khususnya yang berhubungan dengan kebijakan dan otoritas politik penguasa. Kondisi yang dituding sebagai pemicu lemahnya nilai tawar KNPI serta pengkerdilan peran agen perubahan yang selama ini disandang oleh kaum muda, sehingga rentan terhadap perpecahan.

Siapapun berhak untuk membuat persepsi, yang pasti pasca kongres Ancol dan Bali telah melahirkan dua kepemimpinan dan kepengurusan KNPI, melalui jargon “konstitusional” kedua-duanya mengklaim memenuhi konstitusi.

Sudah selayaknya KNPI dikembalikan kepada komponen dan eksponen kepemudaan agar mampu dan mau duduk bersama, bermusyawarah untuk mufakat bersama sebagai upaya menciptakan formulasi penyatuan kembali KNPI sebagai bagian kepemudaan Indonesia yang utuh, karena hanya jalan inilah yang dapat dianggap paling konstitusional. Perjuangan Pemuda Indonesia yang telah dicontohkan 80 Tahun lalu sepertinya telah dilupakan oleh sebuah harga konstitusi dan kekuasaan.

Semangat Sumpah Pemuda 1928 dengan keberhasilannya mempersatukan kebhinekaan suku, bangsa, agama dan bahasa menanggalkan rasa egoisme, ambisi pribadi/kelompok sudah dirasa perlu dan mendesak untuk direaktualisasikan dalam Jiwa dan Raga yang tumbuh melalui Reinkarnasi Sumpah Pemuda 2008.

Menjadi sesuatu yang ironis, manakala pemuda sedang mengumandangkan gerakan “Saatnya yang muda yang memimpin”, tetapi calon pemimpinnya justru tidak menunjukkan sikap sebagai seorang pemimpin.

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bukan sekedar memiliki gelar, kepandaian dan kemampuan untuk berdebat, tetapi lebih pada sesuatu yang kongkrit berbuat untuk masyarakat banyak, mau berkorban, kemandirian dan komitmen serta berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.

Dan ketika itu ada di KNPI, maka seluruh pemuda Indonesia sepakat perpecahan hari ini bukanlah sebuah kegagalan sejarah kepemudaan di bumi Indonesia, melainkan proses alamiah menuju pada pendewasaan dan kearifan diri.***

Kekalahan Politik NU Tidak Perlu Diratapi

Monday, 20 April 2009 13:35

gus-solahOleh; KH. Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng

HASIL hitung cepat sejumlah lembaga riset terhadap pemilu menunjukkan partai-partai yang didirikan atau berkaitan dengan organisasi NU gagal total. Jumlah gabungan pemilih PKB+PPP+PKNU+PPNUI hanya di bawah jumlah pemilih PDIP atau Partai Golkar, apalagi Partai Demokrat.

Fakta tragis itu membuat banyak tokoh dan warga NU meratapinya. Apalagi, tidak ada seorang pun tokoh yang berasal dari kalangan NU yang muncul sebagai bakal cawapres, apalagi bakal capres. Perlukah kita meratapi hal itu?

Faktor Penyebab

Peta politik 1955 menjadi acuan bagi banyak pengamat politik dalam melakukan analisis terhadap perpolitikan di kalangan NU. Padahal, telah terjadi perubahan besar yang amat mendasar.

Pertama, sejak NU mengganti asas Islam dengan Pancasila pada Muktamar 1984, tidak ada hambatan ideologis bagi warga NU untuk memilih partai berasas Pancasila. Walaupun NU kembali berasas Islam pada Muktamar 1999, tidak ada perubahan dalam masalah itu karena PBNU membidani lahirnya PKB yang berasas Pancasila.

Kedua, NU secara resmi bergabung dan akhirnya memutuskan hubungan dengan Masyumi dan PPP. Sejumlah tokoh dan warga NU bergabung dengan Golkar. Sebagian besar di antara mereka tetap bertahan di partai- partai tersebut. Pada saat PB NU membidani PKB (1998), tidak ada upaya untuk mengajak seluruh tokoh NU di PPP dan Golkar untuk bergabung. Akibatnya, jumlah pemilih Partai NU pada Pemilu 1955 > 18%, sedangkan pemilih PKB pada Pemilu 1999 berjumlah sedikit di atas 12 persen.

Ketiga, PKB dilanda konflik internal berkepanjangan. Matori Abdul Djalil dilengserkan dari jabatan ketua umum (2001). Selanjutnya, pemecatan Saifullah Yusuf dari jabatan Sekjen (2003) yang diikuti dengan pemecatan Alwi Shihab dari posisi ketua umum (2004).

Pasca Muktamar Semarang, muncullah PKNU. Terakhir adalah pemecatan terhadap Ketua Umum Muhaimin Iskandar yang diakhiri dengan putusan MA yang mengakui Imin (Muhaimain) dan menyebabkan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) tergusur dari posisi ketua umum dewan syura.

***

Tentu keadaan yang diratapi banyak warga NU itu perlu diperbaiki. Pertanyaan pertama ialah perlukah struktur NU melakukan sesuatu, lantas apakah yang bisa dilakukan? Paling jauh struktur NU hanya bisa memberikan saran agar konflik internal PKB dapat diselesaikan dengan baik, melalui Muktamar PKB 2010. Tetapi, struktur NU tidak perlu terlibat, apalagi memihak salah satu pihak.

Akan lebih baik lagi apabila PKNU dan PKB bergabung kembali karena ternyata PKNU tidak lolos ke Senayan. PB NU bisa mendorong kedua partai itu bergabung lagi tanpa paksaan. Upaya itu amat sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Struktur NU sebaiknya hanya berperan sebagai katalisator.

Cukup banyak warga dan tokoh NU yang meratapi kekalahan NU itu dan masih berkeinginan supaya NU mempunyai partai tempat menyalurkan aspirasi warga NU. Partai semacam itu punya hubungan khusus dengan struktur NU sehingga dapat saling menguntungkan. Bagaimana menanggapi sikap seperti ini?

Perlu disadari bahwa upaya semacam itu akan sia-sia. NU telah mencoba mendirikan PKB yang ternyata sarat dengan konflik dan juga tidak baik komunikasinya dengan struktur dan warga NU. Perolehan suaranya maksimal hanya sekitar 12 persen (1999), lalu merosot. Manfaat mempunyai partai dengan mafsadatnya tidak sebanding, jauh lebih kecil.

Banyak warga dan aktivis NU yang menjadi anggota legislatif dan pengurus sejumlah partai di luar PKB, PKNU, dan PPP. Misalnya, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok.

Survei Kompas (Maret 2009) mengungkap fakta yang mungkin tidak banyak diperhatikan, yaitu penyebaran suara warga NU ke sejumlah partai. Suara warga NU tersebar ke PD = 29,8%; PDIP = 19,4%; PG = 16,3%; PPP = 7,1%; PKS = 6,8%; PKB = 5,9%; PKNU = 1,3%.

Fakta di atas menunjukkan bahwa warga NU sekarang berbeda dengan era NU menjadi partai, sifatnya cair, tidak mungkin lagi dikelompokkan ke dalam satu partai sebagai pengganti Partai NU. Itu juga dipengaruhi perubahan asas partai seperti diuraikan di atas. Putra-putri warga (partai) NU sudah tersebar ke mana-mana dan tidak punya lagi keterikatan dengan NU sebagai entitas politik. Mereka hanya terikat dengan NU dalam budaya agama.

***

Apakah perlu dan mungkin NU kembali menjadi partai? Bukankah saat NU menjadi partai bisa menjadi salah satu kekuatan politik utama di Indonesia? Tidak mungkin NU kembali menjadi partai. Kesempatan NU kembali menjadi partai hanya pernah ada pada 1998.

NU dulu bergabung dengan Partai Masyumi karena saat itu kita baru menyusun landasan negara dan NU ikut menginginkan Islam menjadi dasar negara. Setelah gagal memperjuangkan melalui PPKI pada 1945, Partai NU bersama partai Islam yang lain kembali gagal memperjuangkan Islam menjadi dasar negara dalam Majelis Konstituante. Lalu, NU menerima Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada kebutuhan NU untuk menjadi partai politik.

Apakah NU ke depan sama sekali tidak boleh berpolitik? Politik kekuasaan atau politik kepartaian jelas harus dijauhi oleh struktur NU, dari tingkat terbawah sampai tingkat teratas, untuk tanfidziyah maupun syuriyah.

Tetapi, politik yang mulia adalah yang tidak berorientasi kekuasaan, tetapi berorientasi membela kepentingan rakyat banyak -rakyat kecil- tidak harus dijauhi. NU bahkan harus bergulat lebih intens dalam politik semacam itu.(telah dipublikasikan di Jawa Pos, 20/4/09)